Banyak yang berkomentar bahwa Film Ayat-Ayat Cinta (AAC) tidak sebagus dengan versi novelnya. Bagi mereka yang sudah betul-betul menghayati kisah yang ada di novel AAC, biasanya akan merasa bahwa film tersebut melenceng dari kisah AAC yang ada di novel. Namun ada juga yang memberikan apresiasi positif mengenai kehadiran film AAC. Dan pada kenyataannya, ketika diputar di bioskop-bioskop Indonesia, film AAC bisa dibilang cukup menarik perhatian banyak penonton bioskop. Bahkan sebelum resmi diputar di bioskop, tidak sedikit yang menantikannya. Teman saya dari negeri jiran Malaysia sudah menanyakan film tersebut sebelum peluncurannya.
Komentar saya, film AAC merupakan salah satu bentuk dari pertemuan antara idealisme dengan realitas. Novel AAC sarat dengan nilai-nilai idealisme dan nilai-nilai religi. Penggarapan novel AAC yang tidak melibatkan begitu banyak pihak, membuat nilai-nilai idealismenya begitu nyata. Bahkan novel AAC sendiri disebut sebagai "Novel Pembangun Jiwa", menunjukkan nilai idealisme yang sedang diusung. Sedangkan film AAC digarap oleh berbagai pihak, mulai dari sutradara, perusahaan produksi perfilman, artis, dll. Selain itu masih ada lagi yang namanya sponsor, pasar, dan sebagainya. Ada lagi yang namanya motif dan orientasi. Di luar sana ada yang bermotif bisnis, ada yang bermotif pendidikan, ada yang bermotif prestise, ada yang bermotif pamor, ada yang berorientasi pasar, dsb. Itulah yang saya sebut dengan realitas. Dan pada kenyataannya, realitas -realitas tersebut belum banyak yang memiliki nilai idealisme. Jadi ketika novel AAC yang mewakili idealisme bertemu dengan realitas tadi, maka hasilnya adalah film AAC yang kita tonton itu.
YOGYAKARTA... It's Amazing!!
14 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar